“Ibu Budi” Hidup Kembali dalam Lagu Anak-Anak di Australia

img-20161205-wa0001“Ini Ibu Budi” adalah sepenggal kalimat yang pasti bergema di ingatan sebagian masyarakat yang bersekolah pada jaman 80-90an. Dengan keinginan memotivasi anak-anak dan para pelajar bahasa Indonesia di Australia untuk mencintai dan menggunakan bahasa Indonesia, Wenny Bekti Sunaharum bersama dengan suami, Johan Ramandias telah berhasil melestarikan kalimat itu dalam bentuk lagu anak-anak berjudul “Ini Ibu Budi.” Lagunya disertai dengan video klip resmi yang disyut di lokasi alami di lingkungan University of Queensland, Australia dan didukung oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia, Canberra dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Sydney. Video klip Ini Ibu Budi baru dirilis pada bulan Januari ini dan bisa diakses oleh siapapun di seluruh dunia lewat situs YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=G90lK6bdtgk. Bagaimana ceritanya Wenny mewujudkan idenya sampai menjadi kenyataan?

img-20161205-wa0006

Ide dan konsep untuk lagu Ini Ibu Budi muncul pada akhir tahun 2015 menjelang tanggal pengajuan disertasi S3 (doktoral) Wenny di University of Queensland. Tujuan Wenny dalam menciptakan lagunya tidak hanya untuk menghibur anak-anak Indonesia tetapi juga untuk mempromosikan pembelajaran Bahasa Indonesia di Australia. Ungkapan “Ini Ibu Budi” yang dipilih oleh Wenny disumberkan dari  metode belajar Bahasa Indonesia yang dipopulerkan oleh Ibu Guru Siti Rahmani Rauf (Bunda Siti) di era 80-90 an. “Saat ingat bahwa sewaktu SD buku Ibu Budi sangat membantu saya dalam belajar membaca Bahasa Indonesia karena cara mengejanya mudah diikuti dan diingat. Almarhumah Bunda Siti meninggal pada Mei 2016 dan saya ingin memberikan penghargaan juga kepada beliau lewat lagu ini,” kata Wenny.

 “Saya dan suami melihat kurangnya hiburan khusus termasuk lagu untuk anak-anak di tanah air. Kami juga punya anak-anak yang nantinya akan membutuhkan hiburan yang pas untuk usianya serta memiliki muatan yang memotivasi dan membawa keceriaan,” tutur perempuan asal kota Malang ini. “Kami percaya lagu dan musik itu adalah bahasa universal karena pada dasarnya manusia itu menyukai lantunan nada-nada yang indah,” imbuhnya. Karena itu, dari rumahnya di Brisbane, Australia, sejak tahun 2014 Wenny dan Johan memulai membuat lagu-lagu khusus anak-anak dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sejauh ini, di sela-sela waktu, mereka sudah membuat sekitar tiga lagu anak, diantaranya adalah lagu Ini Ibu Budi.

12341548_10206906719940833_2731797475235106645_n

Wenny bersama dengan anak kembarnya, Sasya dan Wahyu di Australia

Mulai dengan merekam suara sendiri di HP ketika pulang kantor, di bis atau saat senggang, Wenny mencoba untuk mencari-cari nada yang sederhana, mudah diikuti dan diingat oleh semua kalangan khususnya anak-anak. Lagunya direkam bagian per bagian dan akhirnya disatukan pada pertengahan tahun 2016. “Berkat bantuan dan masukan dari suami saya, Johan yang juga senang bermain musik, maka aransemen lagu kombinasi keroncong dangdut dan musik tradisional dapat diselesaikan pada akhir tahun 2016,” kata Wenny. Lagu bahasa Indonesia ini bertepatan juga dengan perencanaan pembukaan Balai Bahasa Indonesia di Queensland. “Kami sangat berterimakasih atas dukungan penuh dari Kedutaan Besar Republik Indonesia, Canberra dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Sydney” kata Wenny.

img-20161205-wa0010

Untuk konsep video klip, Wenny juga membuat bersama suami di waktu senggang. “Kami ingin memunculkan unsur tradisional dan budaya Indonesia yang mewakili dari Sabang sampai Merauke serta memberikan apresiasi kepada para musisi dan seniman termasuk penari tradisional,” jelasnya. Beberapa pelajar Bahasa Indonesia asal Australia dari University of Queensland juga ikut berpartispasi dalam rekaman suara dan syuting. Mereka diharapkan menjadi pionir dan juga sumber motivasi untuk pelajar asing dalam mempelajari Bahasa Indonesia.

Wenny tidak hanya dapat dukungan dari suami saja tetapi dari keluarga dan masyarakat dalam proses syuting dan produksi video klip, termasuk Gelora Indonesia, Pojok Indonesia, Sendok Garpu by Bunda Alicia untuk konsumsi, Ferny Grove State High School sebagai penyedia pakaian adat Indonesia dan The University of Queensland yang menyediakan lokasi syuting. “Total tim dan pendukung lagu dan video klip ini sekitar 65 orang. Jadi, ini adalah karya bersama kami semua,” jelasnya.

15326457_10209771686003194_8037838628924404713_n

Saat mengambil pakaian adat dari SMA Ferny Grove

Walaupun tidak mudah untuk mengurus banyak orang apalagi banyak anak-anak, menurut Wenny, kuncinya adalah perencanaan yang matang, komunikasi yang baik, kesabaran serta konsistensi untuk mencapai tujuan. “Saya menyadari semua teman-teman dan anak-anak juga super sibuk dengan berbagai urusan jadi untuk per-scene dan waktu harus dirancang dengan baik,” jelasnya. Pembagian tugasnya juga harus jelas termasuk harus ada plan B atau C misalnya karena mood anak-anak tidak stabil dan cuaca yang sangat panas. Jadi juga harus fleksibel serta pandai-pandai mengambil momentum,” imbuhnya.

img-20161205-wa0002Selain dari suaminya, musiknya juga didukung oleh unsur kendang dari Efiq Zulfiqar serta seruling Sunda dari Efendi Jaenudin. Penyanyi dan vokalis pendukungnya juga melibatkan cukup banyak orang termasuk Agustinus Timotius, Jane Ahlstrand, Rachmania Puspa Wardhani, Tri Mulyani Sunarharum, Annie Pohlman, Steph Pearson, Melanie Kilby, Sunarsedyono, dan Agustinus Yogiyono sebagai dalang. Video klip digarap oleh Sanjaya Tjhia dan melibatkan banyak model termasuk penari (Jane Ahlstrand, Tri Mulyani Sunarharum, Ruby Izzati & Keiloka Kirana Wahyudi), make-up artist (Esti Rahayu Sunarharum), anak-anak dan komunitas Indonesia di Brisbane.

Kameramen yang terlibat ada dua orang yaitu Sanjaya Tjhia (Jay) dan Johan Ramandias. Keduanya juga berpengalaman dalam membuat video klip/film dan video editingnya digarap oleh Jay. “Saya sangat berterimakasih kepada Jay yang dapat mengerjakan video klip ini dalam waktu yang sangat terbatas, dan juga tentunya sangat berterimakasih kepada keluarga, teman-teman serta semua pihak yang turut berpartisipasi” kata Wenny.

img-20161205-wa0021

Soft launching dilakukan pada tanggal 4 Januari 2017 di kediaman warga Indonesia di Brisbane dan menerima respon yang sangat menjanjikan. Karena lagunya disembahkan untuk Balai Bahasa Indonesia, Queensland dan pembelajaran Bahasa Indonesia di Australia, video diserahkan penuh kepada KBRI, Canberra dan KJRI, Sydney. “Semoga dapat bermanfaat untuk kegiatan promosi Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah di Australia dan mendukung Balai Bahasa Indonesia,” kata Wenny. “Ada beberapa sekolah di Australia yang juga sudah meminta video ini karena akan digunakan dalam perkenalan pelajaran Bahasa Indonesia kepada murid-murid di Australia,” imbuhnya. Wenny dan tim tentunya juga akan sangat bahagia sekali jika seandainya Bapak Presiden Jokowi melihat serta menikmati lagu dan video klip Ini Ibu Budi.

Menurut Wenny, “Bahasa Indonesia adalah Bahasa nasional yang digunakan untuk mempersatukan bangsa Indonesia dari berbagai suku bangsa. Mempelajari Bahasa dari suatu negara adalah salah satu upaya untuk menghargai bangsa dari negara tersebut. Saya percaya bahwa saling mempelajari Bahasa dan budaya dari berbagai negara adalah jembatan yang dapat mempererat hubungan serta komunikasi antar bangsa, termasuk antara Indonesia dan Australia.”

 

Ternyata, Wayang Kulit Juga Digemari Rakyat Australia

15780908_10155770020322575_8617545914975231093_nWalaupun sudah tinggal di Australia lebih dari 10 tahun, niat Agustinus Jogiono untuk melestarikan budaya Indonesia di luar negeri tidak pernah habis. Pada akhir tahun 2016, pria asal kota Jogjakarta itu memberanikan diri untuk memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada masyarakat Australia dalam bentuk pentas wayang kulit perdana di Woodford Folk Festival, salah satu festival kebudayaan rakyat terbesar di Australia. Ternyata, minat masyarakat Australia terhadap seni tradisional Jawa ini cukup tinggi sampai pertunjukan wayang kulit di Woodford dikerumuni para penonton. Bagaimana proses persiapan dan pengalaman saat Agustinus membawakan pentas seni budaya Indonesia di Australia?

Dengan giat sendiri, Agustinus mulai proses persiapan dengan mengumpulkan koleksi wayang terbuat dari kardus yang dia beli dulu di Jogjakarta sambil membentuk sebuah cerita yang akan dibawakan. “Cerita atau lakon yang saya pilih bersumber dari cerita Ramayana,” kata Agustinus yang akrab disapa Yogi. Karena itu, untuk melengkapi koleksinya yang masih cukup sederhana, Yogi harus membuat dan melukis sendiri beberapa tokoh wayang tambahan termasuk Dewi Sinta, Jatayu, dan Sarpakenaka. Tidak berhenti di situ, Yogi juga membuat peralatan busur panah dan anak panahnya, pedang, gunungan dan bahkan bingkai untuk menggantung kain geber.

Untuk musik pengiring pertunjukannya, Yogi berkolaborasi dengan dua seniman Indonesia asal Sunda yang tinggal di Australia, yaitu Efiq Zulfiqar dan Efendi Jaenudin. “Musik atau gamelan yang mengiringi memang bercorak musik Sunda dengan menggunakan siter, rebab, kendang, gong, saron, dan seruling,” kata Yogi. “Cukup Indah perpaduan music Sunda dan pewayangan gaya Jawa-Jogjakarta. Berkolaborasi dengan seniman lain sangat menyenangkan karena satu sama lain mau belajar dan mengajari,” imbuhnya.

15826769_10155770017662575_5113941832421333830_n

Setelah latihan berbulan-bulan, akhirnya mereka memulai perjalanan ke Woodford. Woodford Folk Festival merupakan salah satu tempat bagi para seniman, musisi dan penari untuk berbagi beberapa jenis kesenian dengan para penonton dari berbagai latar belakang dalam beberapa tatacara. “Pengunjung yang hadir bisa untuk mengeksplore semua kegiatan yang ada seperti seni, kuliner serta cinderamata,” kata Yogi. “Yang hadir adalah orang-orang lokal maupun internasional yang datang untuk melihat dan menikmati kegiatan yang ada,” imbuhnya.

Di sana, pentas wayang kulit bernuasa Sunda itu ternyata diterima baik oleh para penonton. “Pengalaman pentas pertama sangat menyenangkan. Kami pentas tiga kali dalam tiga hari yaitu tanggal 28, 29 dan 30 Desember dengan durasi pentas 30-45 menit,” jelasnya. Menurut Yogi, respon dari penonton sangat bagus dan antusias. “Hal itu bisa diketahui sebelum pertunjukan mulai. Kursi sudah terisi penuh. Para penonton bertanya dan mendekat untuk melihat secara detail apa itu wayang, bentuk dan warnanya,” jelasnya.

Menurut Yogi, tujuannya dalam pentas wayang kulit adalah untuk melestarikan budaya Indonesia di luar negeri sambil menghibur orang lain. “Sumber motivasi saya berasal dari kesenangan untuk berkesenian. Saya senang karena bisa mempromosikan media wayang. Apalagi di Brisbane, selama tinggal di sini jarang kami bisa melihat pertunjukan wayang,” katanya. “Saya harap seni budaya Indonesia, khususnya dalam hal ini Jawa bisa dikenal oleh masyarakat luas di Australia,” imbuhnya.

Walaupun Yogi tidak pernah belajar seni pedalangan secara akademik, karena sejak kecil sudah senang melihat wayang, bisa mulai menangkap dasar dan pengetahuan dari situ. “Selalu ada rasa senang d­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­an tertarik kalau melihat pertunjukan wayang. Nah, disitu saya belajar!” kata Yogi. “Kebetulan dimana saya bekerja, ada bangunan yang dinamai Balai Budaya, disitu ada seperangkat gamelan dan wayang yang bisa untuk berlatih,” imbuhnya.