Pagelaran Gamelan Gong Kebyar Bali Capai Puncak Kesenian di Australia

Canberra, Australia – Aula gedung National Gallery of Australia (NGA) bergetar dengan suara nyaring Gamelan Gong Kebyar dan gerakan tari Bali yang gesit dan lincah pada hari Minggu (23/4/2017). Pagelaran seni budaya ini merupakan buah hasil kerjasama Sekaa Gong Sekar Langit dari KBRI, Canberra dan Kita Art Community, Bali. Pertunjukan tersebut ramai dihadiri anggota masyarakat sampai setiap pertunjukan musik dan tarian langsung disambut tepuk tangan yang memenuhi ruangan James O’Fairfax Theatre di NGA. Anggota grup gamelan Sekar Langit ini hingga penari Bali diwakili oleh warga Indonesia maupun Australia. Dengan tekun mereka turut bersama untuk menampilkan contoh seni budaya Indonesia terbaik di NGA, yang merupakan puncak seni pertunjukan di Australia. Mereka membawakan tiga tarian tradisional yaitu tari Pendet, Topeng Keras dan Joged Bumbung dan tiga jenis tabuh yaitu Bapang Selisir, Godeg Miring dan Gilak.

IMG_9308 (2)

Tari Pendet oleh Kadek Elena Kusuma Dewi, Jane Ahlstrand dan Ni Komang Tri Paramityaningrum

WhatsApp Image 2017-04-27 at 14.53.02

Gede saat melatih muridnya

Selama 5 bulan terakhir, para penabuh dari Sekaa Gong Sekar Langit telah bergabung secara rutin di lokasi KBRI, Canberra untuk latihan intensif di bawah asuhan I Gede Eka Riadi, seniman muda asal Desa Kapal, Bali yang sekarang menjadi duta budaya di Australia. Didirikan pada tahun 2015 dengan tujuan untuk menghidupkan seni budaya Bali di luar Indonesia, Sekaa Gong Sekar Langit sudah menjadi cukup terkenal di Canberra sebagai wadah musik tradisional Indonesia yang bermutu. “Awalnya, saya menemukan beberapa alat musik gamelan yang disimpan di salah satu gudang di KBRI,” katanya. Sedikit demi sedikit Gede perbaiki gamelan ini supaya akhirnya dia siap untuk mengundang anggota masyarakat dan pegawai KBRI untuk membentuk grup gamelan resmi. “Yang datang untuk belajar merupakan warga Indonesia yang bekerja sebagai staff di KBRI atau yang sudah menetap di Australia dan ingin menikmati dan melestarikan seni budaya Indonesia di sini. Ada juga beberapa anggota asli Australia yang telah menikah dengan warga Indonesia. Mereka bisa dibilang pecinta budaya Indonesia,” imbuh pria yang akrab disapa “Dedu.”

WhatsApp Image 2017-04-27 at 14.52.32

Anggota Sekaa Gong Sekar Langit menikmati kebersaaman saat istirahat

Dua minggu menjelang Hari-H, Sekar Langit kemudian bergabung dengan beberapa seniman muda berbakat dari Kita Art Community, Celuk, Bali yang diundang KBRI khusus untuk memenuhi posisi dalam orkestra dan juga untuk membawakan beberapa tarian tradisional. Dipimpin oleh I Ketut Widi Putra, Kita Art Community telah didirikan pada tahun 2006 dengan cita-cita mulia untuk memfasilitasi kesempatan untuk seniman muda mengembangkan karier di dunia hiburan dan pariwisata di Bali, dan juga untuk melakukan pertukaran budaya. I Gede Eka Riadi merupakan salah satu seniman yang memulai kariernya dengan Kita Art Community.

WhatsApp Image 2017-04-27 at 14.53.43

Sekar Langit bergabung dengan seniman dari Kita Art Community dari Bali di KBRI Canberra

Kumpulan seniman tersebut termasuk dua penari putri bernama Kadek Elena Kusuma

WhatsApp Image 2017-04-27 at 17.48.44

Ida Bagus Putu Purwa bersama I Gede Eka Riadi

Dewi dan Ni Komang Tri Paramityaningrum, satu penari putra bernama I Dewa Dwi Putrayana dan satu penabuh bernama Ida Bagus Putu Purwa. Akhirnya pasukan penari dilengkapi oleh Jane Ahlstrand, seorang penari Bali asal Brisbane, Australia yang sudah mendalami tari Bali selama 6 tahun.  Semua mengaku gembira dan semangat tinggi untuk berpartisipasi pada saat mereka menerima tawaran untuk pentas seni budaya Bali di Australia, terutama Ida Bagus Putu Purwa, yang sudah menjadi teman baik Gede Eka Riadi semenjak mereka kuliah bersama di ISI Denpasar pada tahun 2002. “Ya, saya tidak menyangka kalau saya bisa ikut ke luar negeri, tapi ternyata, memang jalan Tuhan mungkin, saya bisa di sini juga dengan Dedu (Gede),” ujarnya. Untuk Ningrum, Elena dan Dewa, mereka semua mengucapkan terima kasih kepada Ketut Widi Putra dan Gede yang telah membantu mereka menemukan peluang berharga seperti ini.

IMG_8251

Tari Topeng Keras oleh pemuda I Dewa Dwi Putrayana

IMG_9312

Tari Joged Bumbung dengan Jane Ahlstrand dan I Komang Tri Paramityaningrum

Setelah menghabiskan tenaga dan waktu selama 5 bulan dalam proses persiapan, akhirnya semua berjalan dengan lancar di lokasi NGA. Dalam acara pertunjukan yang digelar pada dua sesi pada hari Minggu itu, semua penabuh dan penari mengaku heran atas kelancaran program dan keberhasilan dalam bekerjasama. Suara merdu dari gamelan dan kelincahan tari Bali mengundang kegairahan dari penonton sampai beberapa para pemain bahkan menduga ada campur tangan ilahi yang menentukan keberhasilan pertunjukan mereka.

IMG_9342

Foto bersama pada penutupan sesi pertama di NGA

Perayaan Kuningan Disambut Meriah oleh Warga Queensland, Australia

17974029_1297340763646937_423013664_n

Masyarakat sedharma melakukan sembahyang bersama di Gold Coast, Australia (Image source: Arathy Thirukumar)

Ditemani semilir angin dari tepi pantai, warga dari Gold Coast, Brisbane dan sekitarnya berkumpul di Harley Park, Labrador, Australia pada tanggal 15 April untuk untuk merayakan hari suci Kuningan. Pada hari ini yang jatuh 10 hari setelah hari raya Galungan, umat Hindu dari Bali biasanya melakukan pemujaan kepada para Dewa dan leluhur untuk memohon keselamatan dan perlindungan lahir-bathin. Menariknya, bukan hanya warga asal Bali yang datang untuk turut serta dalam upacara tersebut, tetapi juga ada warga Australia yang membantu dalam pelaksanaan ritual dengan membuat sesajen, makanan dan bahkan ada yang menampilkan tari tradisional Bali.

DSC_5379

Savitri Wiednya sedang menyiapkan sesajen (Image source: Agustinus Jogiono

 

Selama 3 tahun berturut-turut, yayasan Balinese Indonesian Multicultural Assocation

DSC_5546

Image source: Agustinus Jogiono

(BIMA) yang berlokasi di Gold Coast, Australia mengadakan upacara Kuningan di Queensland dengan tujuan utama untuk membantu para diaspora Bali menghidupkan tradisi dan budaya Bali di luar negeri, sambil memadamkan rasa rindu kepada kampung halaman di Bali.  Selain itu, anggota BIMA juga ingin mengajak teman-teman dari suku bangsa dan agama lain untuk datang dan merasakan keindahan budaya dan kesenian Bali, sekaligus menjalin hubungan baik dengan masyarakat Australia.

DSC_0117a

Louisa Wirata, istri warga Bali sedang berdoa (Image Source: Agustinus Jogiono)

Dalam upacara Kuningan yang dilakukan di Harley Park ini, BIMA telah mengundang seorang pemangku (pendeta) dari Gympie untuk memimpin kegiatan sembahyang bersama. Selain itu, para anggota dan teman BIMA bergotong-royong untuk membangun tempat pemujaan, lengkap dengan banten (sesajen dari buah-buahan), umbul-umbul, dupa dan tirta (air suci).

 

Setelah sembahyang bersama, upacara dilanjutkan dengan pertunjukan tari tradisional yang dibawakan oleh Sanggar Anahata dari Brisbane. Para anggota sanggar tersebut merupakan campuran budaya dan kewarganegaraan, termasuk Jane Ahlstrand asal Australia, Arathy Thirukumar yang keturunan Sri Lanka dan Ari Dharma asal Bali. Mereka bersama menampilkan tiga jenis tari Bali yaitu tari Baris, Margapati dan Jauk Keras yang disambut meriah oleh para penonton.

17968800_10156222031722575_278132371_o

Jane Ahlstrand bersama Arathy Thirukumar, penari Bali asal Australia (Image source: Agustinus Jogiono)

 

DSC_0286

Ari Darma, pelajar asal Dalung saat menari Baris (Image source: Agustinus Jogiono)

Saat ditanya, Presiden BIMA, Bapak Wayan Wiednya mengucapkan bahwa dia merasa sangat puas karena para sahabat dari berbagai latar belakang telah bergabung untuk merayakan hari raya Kuningan bersama di Gold Coast. “BIMA hanya menyediakan tempat buat saudara-saudara kami yang seperantauan untuk bisa melakukan persembahyangan dan sekaligus silaturahmi,” Kata Wayan.

DSC_0099

Presiden BIMA Bapak Wayan Wiednya (Image source: Agustinus Jogiono)

“Sayangnya, kami orang Bali belum punya tempat suci atau ibadah di sini tetapi meskipun begitu, saya merasa sangat beruntung kami punya teman-teman yang bisa membantu untuk melaksanakan ritual kami, ujarnya.” Menurut Bapak Wiednya, semua kerja itu adalah Yadnya, yaitu, suatu berbuatan yang dilakukan dengan penuh bhakti keiklasan dan kesadaran.

 

2016 Bali Artists’ Camp Showcases Australia-Indonesia Engagement

IMG_9618In the midst of a tropical downpour, artists and art lovers alike gathered at Made Budhiana Gallery, Lodtunduh, Ubud to celebrate the opening of the Bali Artists’ Camp exhibition held on Saturday 8 April 2017. Artwork on display was produced entirely by participants of the 2016 Bali Artists’ Camp in which artists from Australia, Indonesia and Japan gathered together in search of inspiration as they explored the beauty and lushness of Eastern Bali, built friendships and ultimately, produced an impressive suite of intoxicating artwork. In its fifth year, the Bali Artists’ Camp aims to stimulate ongoing engagement among cultures, landscapes and people, resulting in an exciting body of collaborative pieces.

Many of the artists of 2016 had previously joined the 2015 Artists’ Camp held in Australia’s Northern Territory in conjunction with the Northern Centre for Contemporary Art, Darwin. On this occasion, a blend of Australian and Indonesian artists gathered for the first time to explore the rich culture and wild landscape of Northern Australia, leading to the birth of new friendships and the extensive development of artists’ repertoires.

IMG_9653

Nanik Suryani stands beside some of her artwork on display

Ms Nanik Suryani from Banyuwangi, Indonesia is one such artist who had the opportunity to participate in both events. Suryani speaks highly of her experience at the 2015 Bali Artists’ Camp held in the Northern Territory as source of inspiration and personal development as an artist. “It was the first time for me to participate in such an art camp, which literally involved camping in the middle of the woods. I not only made new friends from Australia and Indonesia but also enjoyed engaging with a new landscape while also learning a new style from Indigenous Australians,” states Suryani.

On returning to the Bali Artists’ Camp in 2016, Suryani’s style had already evolved to incorporate a new way of seeing and painting, inspired by Aboriginal dot painting she had learned while in Australia.  “My art is based on a Consensusism which uses abstract geometic composition, balancing elements of shape, light and colour. I now also like to experiment with Indigenous Australian painting, incorporating modern dot painting techniques,” adds Suryani.

The exhibition will be held until the 8 May at the Made Budhiana Gallery, Villa Pandan Harum, Gang Pandan Harum, Jalan Anak Agung Gede Rai, Lodtunduh, Ubud Bali. The artists and founder of the Bali Artists Camp, Mr Colin McDonald QC would like to acknowledge the support received from the Commonwealth Bank of Indonesia, the Indonesian Department of Foreign Affairs, the Northern Territory Government, and the Consulate-General of Australia in Bali.

I Gede Gunada Eka Atmaja: Pelajaran Hidup Semua Dimulai dari Seni

Pada malam hari yang sejuk-segar ditabur hujan deras, sosok Gede Gunada terlihat tenang sambil hadir di acara pembukaan pameran lukisan Bali Artists’ Camp di Lodtunduh, Ubud, Bali.  Seniman asal Karangasem, Bali ini sudah mulai melukis sejak kecil, dan dari hobi itu Gede telah mendapat banyak pelajaran dan pengalaman hidup yang berharga. Sebagai salah satu peserta Bali Artists’ Camp yang diadakan di dua lokasi, yaitu Northern Territory pada tahun 2015, Australia dan Karangasem, Bali pada tahun 2016, pelajaran hidup Gede Gunada justru menambah. Bersama dengan delapan seniman lainnya asal Australia, Jepang dan Indonesia, pada tahun 2015 Gede dikirim ke Australia untuk mengalami pemandangan alam dan suasana baru, meraih ilmu sambil berkolaborasi dengan seniman pribumi Australia. Bagaimana kisah seniman sederhana ini saat dia berkarya di tengah gurun Australia?

IMG_9684

 “Bali Artists’ Camp adalah sebuah pengalaman yang sangat berpengaruh bagi saya,” kata Gede. “Di Australia, saya sebenarnya merasa seperti kita kembali ke Bali yang masa lalu, berkarya di alam lepas, dikelilingi tanah luas dan banyak binatang liar,” imbuhnya. Dengan dukungan pemerintah Northern Territory, kelompok seniman diajak berkiling alam lepas Australia untuk mencari inspirasi. Pada malam hari, mereka berkemah di padang gurun dan di situlah mereka melukis, terinspirasi oleh kenangan yang dibawa dari jalan siang hari.

Melihat hasil yang menjanjikan dari Bali Artists’ Camp 2015, pada tahun 2016, Gede diundang kembali untuk berpartisipasi dalam Camp tersebut yang kali ini diadakan di Karangasem, di sebuah lokasi dekat desa asal dia. Dalam bayangan Gunung Agung, diiringi kehijauan hutan lebat, pasukan seniman berbeda negara ini mulai bergerak, mencuri pemandangan alam sehingga membuahkan hasil lukisan masing-masing. Dalam suasana pagi yang mendung, Gede bekerja cepat dan dalam 2 jam sudah berhasil menerjemahkan pemandangan Gunung Batur ke dalam bentuk lukisan akrilik.

Gede Gunada merupakan seniman yang sudah mulai aktif sejak kecil. “Sayang sekali hasil gambar saya waktu kecil tidak ada karena semuanya saya lakukan dengan coret-coret di tanah atau di tembok,” kata Gede. “Saya memang fokus melukis dari sekolah dan semua pelajaran saya mulai dari kegiatan seni. Misalnya, saat hendak melukis tubuh manusia, kita harus belajar anatomi,” imbuhnya. Untuk Gede, dunia seni adalah dunia bermain, bermain perasaan dan keterampilan dengan media. “Dari bentuk, warna, garis dan media, saya bisa mengekspresikan diri. Kita bisa melukis saat marah, bahagia atau sedih,” ujarnya. Untuk Gede, seni merupakan salah satu jalur untuk belajar, memperluas wawasan, berkomunikasi dengan alam dan juga bersosialisasi. Bali Artists’ Camp menjadi kesempatan yang sangat patut untuk seniman seperti Gede Gunada.

Kisah Seniman Suryani: Menjelajahi Gurun Australia Melalui Misi Kesenian

Setiap seniman mengalami proses perkembangan masing-masing. Ada yang sejak lahir sudah tahu bahwa dirinya akan menjadi seniman, biasanya berkat darah seni yang mengalir dari orang tuanya. Juga ada yang awalnya belum menyadari bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk berseni, dan hanya kemudian pada usia dewasa mereka baru mengenal kemampuan itu. Untuk Nanik Suryani, yang sudah terbiasa menjalankan hidup sebagai seorang pegawai kantor, satu demi satu dia mulai menyadari bahwa hatinya memiliki dunia seni, bukan dunia perkantoran. Sekarang pelukis asal Banyuwangi ini sangat aktif berkarya sampai dipilih untuk turut serta dalam Bali Artists’ Camp 2015 dan 2016 yang diadakan di Northern Territory, Australia dan kemudian di Karangasem, Bali.IMG_9653

Mulai pada tahun 2006, Suryani menjalani proses pembelajaran melukis sendiri di rumah. Setelah membaca buku berjudul, Everyone Can Draw, niat Suryani untuk menjadi pelukis semakin meningkat. Apa lagi dengan hidup di Bali dalam lingkungan kesenian, olah kreativitasnya justru tumbuh dan berkembang dengan subur.  “Akhirnya saya mengadakan solo exhibition pertama di Ginger Moon Restaurant di Seminyak, Bali pada tahun 2013,” katanya. Seiring berjalannya waktu, diri dan lukisannya semakin terikat. “Awalnya saya masih bertahan kerja kantoran tetapi dengan melihat potensi saya dalam dunia kesenian, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti bekerja di kantor dan fokus kepada melukis saja,” imbuhnya.

Bali Artists’ Camp yang diadakan di daerah gurun Northern Territory, Australia pada tahun 2015 merupakan suatu pengalaman yang luar biasa untuk Suryani. “Itu pertama kali saya ikut dalam kegiatan art camp seperti itu apalagi dengan melakukan camping di tengah hutan. Saya tidak hanya mendapat teman baru dari Australia dan Indonesia tetapi juga dengan melukiskan pemandangan baru dan belajar style baru dari pribumi Australia, hasil seni saya berubah dan berkembang,” ujarnya.

17757112_657661554421567_4628875691892641375_nPada Artists’ Camp 2016 yang diadakan di Bali, Suryani turut serta berkeliling Bali dengan para peserta lain mencari lokasi dan lingkungan yang inspiratif. Saat keliling Pura Dalem Segara Madu, Desa Jagaraja, Singaraja Suryani berkesempatan menemukan dua buah patung yang menarik perhatiannya dan memadukan dua patung yang sebenarnya terpisah itu dalam kanvas. “Dengan menggunakan style Consensusism, saya bermain dengan elemen bentuk, cahaya dan warna di kanvas,” katanya. “Saya juga terpengaruh oleh pengalaman saya waktu di Australia, saat saya belajar cara melukis langsung dengan seniman Aborigin. Sekarang saya bereksperimentasi dengan style lukisan Aborigin yang bercak bintik-bintik,” ujarnya sambil menunjuk detail lukisanya. Nanik Suryani telah membuktikan bahwa tidak ada kata “terlambat” dalam bidang kesenian. Dengan giat untuk terus berkembang, mencari inspirasi, dan bereksperimentasi, tidak ada batasan umur untuk bergerak di bidang seni.